TUGAS
MAKALAH INDIVIDU
TRADISI MELAYU
“PERALATAN MATA
PENCAHARIAN NELAYAN SUKU MELAYU”
DOSEN PEMBIMBING : TETY KURMALASARI, M. Sc.
OLEH :
WINDA SARI H.H
(130388201033)
PROGRAM
STUDI BAHASA & SASTRA INDONESIA
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
TANJUNGPINANG
2014
KATA PENGANTAR
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi
Maha Penyayang, dan dengan rahmat taufiq dan
hidayah-Nya penyusun dapat
menyelesaikan hasil makalah dengan judul “Alat Mata Pencaharian Nelayan Suku Melayu”, guna memenuhi tugas dan melengkapi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana (S.Pd) pada Program Studi Bahasa
dan Sastra Indonesia Universitas Maritim Raja Ali Haji..
Sholawat serta salam semoga senantiasa
tercurah kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW, para sahabat, keluarga dan para ulama’
sebagai pewaris Nabi dalam memberikan penerangan kepada umat manusia seluruh
alam.
Penyusun yakin bahwa dalam
penulisan makalah ini tidak akan selesai dengan baik tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak, yang telah
dengan ikhlas membantu penyusun demi terselesainya
makalah ini.
Selanjutnya, penyusun menyadari bahwa
makalah ini masih banyak kekurangan dan
masih jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu saran
dan kritik yang konstruktif senantiasa penyusun harapkan. Akhirnya penyusun berharap, semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat bagi siapa saja yang
membaca terutama bagi Civitas Universitas Maritim Raja Ali Haji
Tanjungpinang, 16 Juni
2014
Penyusun
Winda Sari .H. H
DAFTAR
ISI
Kata Pengantar………………………………………………………………… i
Daftar Isi……………………………………………………………………....... ii
BAB I :
PENDAHULUAN…………………………………………….... 1
A.
Latar
Belakang………………………………………….. 1
B.
Rumusan
Masalah…………………………………….... 2
C.
Tujuan
Penulisan……………………………………….. 2
BAB II :
PEMBAHASAN………………………………………………. 3
A.
Bubu…….…………….………….……………………… 3
B.
Kelong Tancap…………........…..………………………..4
C.
Jala……………………………....………………………...6
D.
Jaring…………………………....………………………...8
BAB III : PENUTUP
A.
Kesimpulan………………………………………………. 10
B.
Saran………………………………………………………10
Daftar
Pustaka…………………………………………………………………. iii
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Riau, baik Riau daratan maupun Riau
kepulauan, mempunyai latar belakang sejarah yang cukup panjang. Berbagai
tinggalan budaya masa lampau banyak ditemukan di wilayah provinsi itu. Riau
Kepulauan pernah berjaya dengan Kerajaan Riau-Lingga dengan pusatnya di Pulau
Penyengat. Tinggalan-tinggalan budaya itu ada yang berupa benda bergerak maupun
benda tak bergerak seperti bangunan masjid, istana, benteng, dan makam
raja-raja Riau-Lingga. Suku Melayu
merupakan etnis yang termasuk ke dalam rumpun ras Austronesia. Suku Melayu
dalam pengertian ini, berbeda dengan konsep Bangsa Melayu yang terdiri dari
Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura. Suku Melayu bermukim di sebagian besar
Malaysia, pesisir timur Sumatera, sekeliling pesisir Kalimantan, Thailand
Selatan, Mindanao, Myanmar Selatan, serta pulau-pulau kecil yang terbentang
sepanjang Selat Malaka dan Selat Karimata. Di Indonesia, jumlah Suku Melayu
sekitar 3,4% dari seluruh populasi, yang sebagian besar mendiami propinsi
Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bangka Belitung,
dan Kalimantan Barat.
Dalam buku Sejarah Melayu disebut bahwa
Melayu adalah nama sungai di Sumatera Selatan yang mengalir disekitar bukit Si
Guntang dekat Palembang. Si Guntang merupakan tempat pemunculan pertama tiga
orang raja yang datang ke alam Melayu. Mereka adalah asal dari keturunan
raja-raja Melayu di Palembang (Singapura, Malaka dan Johor), Minangkabau dan
Tanjung Pura. Pada waktu itu sebutan Melayu merujuk pada keturunan sekelompok
kecil orang Sumatera pilihan. Seiring dengan berjalannya waktu definisi Melayu
berdasarkan ras ini mulai ditinggalkan. Berdasarkan dari uraian diatas maka
kami ingin lebih memperluas kembali suku Melayu khususnya yang berada di
Provinsi Riau dan Kepulauan Riau.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka rumusan masalah pada makalah ini adalah
- Apa saja peralatan mata pencaharian dibidang nelayan pada orang melayu?
- Bagaimana cara membuat alat-alat tersebut?
C. Tujuan Penulisan
1. Umum Mahasiswa diharapkan mampu memahami manfaat peralatan nelayan tradisi melayu untuk meningkatkan wawasan nusantara dan kegunaan terhadap masing-masing peralatan.
2. 2. Khusus
a. Mengetahui bentuk dan kegunaan alat pencaharian
nelayan masyarakat melayub.
b. Mengatahui tradisi mata pencaharian melayu c. Mengetahui teknik pembuatan alat-alat nelayan
BAB II
PEMBAHASAN
A.
BUBU
Bubu adalah alat yang terbuat dari
bambu yang dijalin sedemikian rupa, digunakan untuk menangkap ikan bagi
masyarakat Melayu yang tinggal di pinggiran sungai atau di pesisir pantai,.
Cara membuatnya, bambu dibelah kecil-kecil dan diraut sehingga menjadi bilah
yang dapat dianyam. Awalnya, bubu ini dibuat dari kerangka (tapak)
bulat yang berdiameter 30 cm, dengan tinggi 150 cm. Di bagian tengahnya, dibuat
lekukan yang berdiameter 50 cm. Struktur bubu ini semakin ke atas semakin membesar
hingga berdiameter 70 cm.
Gambar
2. a. Alat Tangkap Ikan (Bubu). (Sumber: Museum TPI Kota, 2014)
Bubu memiliki dua pintu: pintu
perangkap dan pintu untuk mengeluarkan hasil tangkapan. Pintu perangkap dibuat
cukup unik, karena mengikuti model struktur bubu tersebut. Letaknya di bagian
atas. Pintu ini dinamakan injap, dibuat dari bambu yang dibelah dan bagian
dalamnya diruncingkan, disusun berbentuk lingkaran sehingga membentuk bulatan.
Sedangkan pintu yang kedua terletak di bagian tapaknya, dibuat dari bambu yang
dibelah pula, kemudian diikat dengan tali agar tidak terbuka saat diletakkan di
dasar sungai.
Biasanya bubu
diletakkan di dasar sungai atau di ujung muara. Di dalamnya ditaruh umpan agar
ikan-ikan yang melihat umpan tersebut tertarik untuk masuk ke dalam bubu. Bila
ikan sudah masuk ke dalam bubu, maka ikan tersebut tidak dapat keluar lagi
karena sudah terperangkap. Bubu dapat diambil
kapan saja, baik ketika air pasang atau surut.
B.
KELONG
TANCAP (PERMANEN)
Untuk mendirikan kelong tancap paling
tidak membutuhkan 5-10 orang. Pekerjaan
ini diawali dengan pencarian atau pengumpulan bambu yang tua dan panjang.
Bambu-bambu itu sebagian dibuat rakit yang pada saatnya akan ditarik dengan
perahu untuk membawa bambu yang diperlukan ke tengah laut (lokasi yang
diinginkan). Sementara itu, bambu-bambu yang lain dipilih sebagai
fondasi. Bambu-bambu ini pada salah satu ujungnya (bagian pangkal) diruncingi
dan setiap ruasnya dilubangi agar air dapat masuk, sehingga tidak mengambang.
Gambar 2. b. Kelong Permanen atau Tancap (Sumber: Museum
TPI Kota, 2014).
Ketika
bambu-bambu itu sudah ada di lokasi yang telah ditentukan, maka beberapa orang
akan menyelam ke dasar laut untuk mengetahui kedalaman dan sekaligus untuk
mengetahui lunak dan kerasnya tanah dasar laut. Ini penting karena ada
kaitannya dengan sisa bambu yang muncul di permukaan air (setelah ditanam).
Biasanya kedalaman yang diperlukan adalah sekitar 9--10 depa3). Sedangkan, sisa bambu yang muncul di permukaan air
kurang lebih 1 depa.
Setelah bambu
yang berfungsi sebagai tiang tertanam (membentuk segi empat dan setiap sisinya
bertiang 6--7 buah), maka bagian atasnya yang kurang lebih 1,5 meter dari
permukaan air laut disambung dengan bambu lainnya hingga mencapai ketingginan
2--3 depa. Kemudian, tiang-tiang yang membentuk
sisi-sisi kelong dihubungkan dengan bambu yang arahnya berlawanan
(horizontal) atau sejajar dengan permukaan air laut). Bambu-bambu tersebut
diikat dengan ijuk, pasak, dan kaso. Dengan demikian, kedudukan
tiang-tiangnya menjadi semakin kuat dan kokoh. Selanjutnya, kurang lebih 2 depa
dari salah satu sisi bagang diberi deretan bambu yang dibuat rapat. Bambu-bambu
yang berfungsi sebagai lantai ini juga setiap ujungnya diikat dengan tali ijuk.
Di atas deretan bambu inilah didirikan bilik (kamar) yang diberi dinding
dan atap yang berupa daun rumbia. Dengan demikian, si pemilik atau siapa saja
yang ada di kelong dapat terhindar dari dinginnya udara malam, terpaan
angin laut, dan derasnya air hujan. Sedangkan, di tengah-tengah sisi-sisi kelong
lainnya, masing-masing dipasangi bambu yang mencuat ke atas dan membentuk segi
tiga. Pada puncak bambu yang membentuk segi tiga itu masih ditambah dengan satu
bambu lagi yang dihubungkan dengan bagian depan lantai bilik.
Selanjutnya adalah pemasangan jaring.
Luas jaring sesuai dengan luas kelong. Jaring ini diberi bingkai dan
dipasang di bawah lantai. Untuk menurunkan dan menaikkannya dibuat alat pemutar
yang diletakkan di sudut kelong. Agar ketika diangkat atau diturunkan
tetap seimbang kedudukannya (tidak berat sebelah), setiap sudut jaring diikat
pada tiang bambu yang ditancapkan di dasar laut. Untuk penerangan yang
sekaligus menarik perhatian ikan-ikan digunakan lampu stromking yang
digantungkan di bawah bilik. Waktu yang dibutuhkan untuk membuat sebuah
bagang tancap ini kurang lebih 6--10 hari.
C.
JALA
Jala adalah alat untuk menangkap
ikan yang digunakan oleh masyarakat tradisional Melayu yang tinggal di daerah
pesisir pantai atau di pinggiran sungai. Alat tangkap ini ditemukan hampir di semua negara yang
berkebudayaan Melayu, seperti Malaysia, Indonesia, Singapura dan Brunei.
Gambar 2. c. Jala (Sumber: Museum TPI Kota, 2014).
Lazimnya, jala dibuat dari
benang-benang kapas atau nilon yang berukuran besar agar tidak mudah robek jika
ikan-ikan besar terperangkap di dalamnya. Jala dibuat dengan teknik anyaman,
yaitu benang dianyam sedemikian rupa dengan menggunakan coban (alat penganyam
jala). Kalau dibentangkan, jala berbentuk bulat dengan diameter antara 8
10 meter, dan jika diangkat, tinggi jala kira-kira 2,5-3 meter. Di pangkal jala diberi cincin besi atau rantai jala
sebagai pemberat, sementara di ujungnya diberi tali sebagai tempat memegangnya.
Selain itu, ada juga jala kecil yang biasanya memiliki mata jala yang lebih
kecil pula, dengan menggunakan benang kapas yang telah dipintal. Jika
dibentangkan, jenis jala ini berdiameter 7-8 meter, dan jika diangkat,
tingginya kira-kira 130 cm.
Jala pada
umumnya digunakan oleh para nelayan yang menggunakan perahu sampan. Para
nelayan ini menyusuri tepian pantai ketika air surut, jumlah mereka biasanya
dua orang untuk sebuah sampan. Satu orang sebagai
pendayung sampan, dan satu lagi yang menebar jala. Si pendayung biasanya duduk
di buritan sampan sekaligus sebagai penjaga kemudi, sementara penebar
jala di bagian haluan sampan. Namun, ada pula nelayan yang melakukan tebar
jala sendiri, dia sebagai pendayung sekaligus sebagai penebar jala. Keadaan ini
dapat dilakukan hanya dengan cara mengkondisikan bagian buritan sampan
agar bisa mengontrol keseimbangan perahu sampan. Salah satu cara yang digunakan
adalah dayung diikatkan ke perahu sampan, lalu dijatuhkan ke air, sementara
nelayan ini menggunakan pengayuh untuk menggerakkan perahu sampannya dari
bagian depan sampan.
Dulu, di daerah Malaysia, kegiatan
untuk menebar jala dilakukan dengan upacara adat yang dihadiri oleh raja atau
sultan serta masyarakat setempat. Upacara
ini dilaksanakan di atas perahu sampan para nelayan secara beramai-ramai. Raja
atau sultan ikut bersama mereka menaiki perahu sampan tersebut. Ketika sampai
di daerah tertentu, raja atau sultan memerintahkan pada para nelayan untuk
menebarkan jala. Sebelumnya, perahu mulai digerakkan secara perlahan dan
membentuk seperti bulatan. Setelah itu, jalapun ditebar. Berselang beberapa
menit, perahu sampan dikayuh ke arah belakang secara perlahan, jala diangkat
secara perlahan pula, kemudian diletakkan di atas sampan, dan ikan-ikan yang
didapat dikeluarkan dari jala ini. Selanjutnya, penebaran jala dilakukan pada
areal yang lain.
Nelayan jala
memiliki banyak teknik untuk menebar dan menarik jala. Salah satu cara yang
biasa dilakukan untuk menebarnya adalah, mula-mula penebar jala dalam posisi
berdiri. Lalu, ia menyandang bagian tengah hingga ke pucuk jala dengan bahu dan
bagian lengan atas tangan kanannya, sementara tangan kiri menyandang jala
bagian bawahnya. Setelah itu, ia membuat ancang-ancang dengan mengayunkan
badannya ke belakang, lalu ke depan dengan dorongan tangan, lengan dan bahu
agar jala tersebut terbuka dengan sempurna, membentuk suatu bulatan yang utuh.
Bagian tepi jala akan tenggelam hingga ke dasar sungai disebabkan beratnya
rantai jala. Sedangkan cara menarik jala adalah, penebar jala akan melilit tali
yang ada di pucuk jala secara perlahan, kemudian menariknya hingga rantai jala
terangkat dari perahu sebatas lutut si penebar jala. Lalu jala diletakkan di
perahu sampan dan hasil tangkapan dikeluarkan darinya.
Aktivitas
menjala ini tidak hanya dilakukan oleh para nelayan yang tinggal di pinggiran
sungai atau pesisir pantai, tetapi juga oleh para petani. Mereka pergi menjala
ketika ada waktu luang, atau setelah panen, sebagai pekerjaan tambahan.
D.
JARING
Jaring adalah alat untuk menangkap
ikan, terbuat dari benang nilon dengan cara dianyam. Biasanya jaring memiliki
dua ukuran, kecil dan besar. Jaring kecil berukuran panjang antara 5 -10 meter
dan labuh (lebar) 1,5-2 meter, sementara jaring besar berukuran panjang
antara 10-30 meter dengan labuh (lebar) antara 2-4 meter. Baik jaring
kecil atau besar memiliki mata jaring, serampat (selvadge), pelampung,
tali pelampung (float line), tali ris atas (head line), tali ris
bawah (ground rope), pemberat dan tali pemberat (sinker line).
Gambar. 2. d. Alat Penjaring Ikan (Sumber: Museum TPI Kota,
2014)
Mata jaring adalah lubang yang
terdapat pada anyaman jaring tersebut, berfungsi sebagai perangkap ikan dan
hewan air lain yang melewatinya; serampat adalah lembaran jaring yang terpasang
di atas dan di bawah tubuh jaring, berfungsi sebagai penguat tubuh jaring
bagian atas dan bagian bawah tersebut; pelampung adalah benda yang mempunyai
daya apung yang dipasang pada jaring bagian atas, berfungsi sebagai pengapung
jaring; tali pelampung adalah tali yang dipergunakan untuk menempatkan dan
mengikat pelampung; tali ris atas adalah tali yang dipergunakan untuk
menggantung tubuh jaring; tali ris bawah adalah tali yang dipergunakan untuk
melekatkan tubuh jaring; sementara pemberat adalah benda yang mempunyai daya
tenggelam yang dipasang di bagian bawah, berfungsi sebagai penenggelam jaring.
Selain itu, berkenaan dengan mata jaring, terdapat dua jenis ukurannya, kecil
dan besar. Mata jaring kecil biasanya berukuran 2-4 cm persegi empat, sementara
mata jaring besar berukuran 8-15 cm. ukuran kecil dan besar ini bersesuaian
dengan kecil atau besar jaring yang diperlukan.
Pada umumnya, ada dua cara yang
digunakan untuk merentangkan jaring: (1) jaring diikatkan ke pohon kayu yang berada
di tepian sungai, (2) jaring diberi beberapa buah pelampung, terutama di dua
penjuru jaring agar keadaannya tetap terapung, selanjutnya ditancapkan kayu di
areal yang dangkal, lalu jaring diikat agar ia tidak hanyut dibawa arus.
Perentangan jaring ini dilakukan biasanya ketika air mulai pasang, dan diangkat
(dibangkit) ketika air surut. Para nelayan pada umumnya menggunakan
perahu sampan atau perahu bermotor ketika mereka merentangkan atau mengangkat
jaring tersebut.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Alat penangkap ikan suku melayu
hingga saat ini masih digunakan oleh masyarakat melayu dan bahkan alat tersebut
dimanfaatkan oleh orang-orang yang memiliki sumber mata pencaharian dengan
nelayan. Oleh karena itu, sepanjang peralatan tersebut masih digunakan dan
dimanfaatkan serta memberikan banyak keuntungan bagi sang pengguna sehingga
sepanjang itulah nama suku melayu masih terdengar oleh kita, sehingga tidak ada
salahnya untuk menjaga tradisi yang ditinggalkan apapun itu daerahnya dengan
catatan hal itu berfaedah bagi pengguna.
B.
Saran
Demikian
pembahasan mengenai ”Mata Pencaharian
Nelayan Suku Melayu”. Semoga
pembahasan ini dapat dijadikan salah satu sumber untuk memperkaya
pemahaman. Semoga apa yang disampaikan dalam makalah ini akan dapat
menjadikan bahan renungan dan merupakan acuan kita untuk menerima perubahan
yang disampaikan baik secara langsung maupun tidak langsung. Dengan
pemahaman ini di harapkan mahasiswa semakin bertambah pengetahuanya dan
semakin kreatif sehingga mampu memecahkan masalah khususnya dalam bahasa
indonesia. Selanjutnya kami juga berharap agar mahasiswa semakin tertarik
mengikuti perkembangan Ilmu-ilmu yang lainnya tidak terkecuali Ilmu apapun
itu.
Demikian Kritik dan Saran dari
kami, jika ada kata-kata yang mungkin tidak berkenan di hati saudara-saudari
sekalian, agar dapat memaklumi dan kami memohon maaf yang
sebesar-besarnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Tim
Koordinasi Siaran. 1992. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara IV. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
www.melayuonline.com
diakses
pada : 12 Juni 2014
Wawancara : Anton Rambe (Narasumber Museum)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar