Kamis, 19 Juni 2014

PERALATAN MATA PENCAHARIAN NELAYAN MELAYU


TUGAS MAKALAH INDIVIDU
TRADISI MELAYU
“PERALATAN MATA PENCAHARIAN NELAYAN SUKU MELAYU”
DOSEN PEMBIMBING : TETY KURMALASARI, M. Sc.



 







OLEH :
WINDA SARI H.H
(130388201033)




PROGRAM STUDI BAHASA & SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
TANJUNGPINANG
2014

 

KATA PENGANTAR

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang, dan dengan rahmat taufiq  dan  hidayah-Nya  penyusun  dapat  menyelesaikan  hasil  makalah dengan  judul Alat Mata Pencaharian Nelayan Suku Melayu”, guna memenuhi tugas dan melengkapi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana (S.Pd) pada Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Maritim Raja Ali Haji..
Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW, para sahabat, keluarga dan para ulama’ sebagai pewaris Nabi dalam memberikan penerangan kepada umat manusia seluruh alam.
Penyusun yakin bahwa dalam penulisan makalah ini tidak akan selesai dengan baik tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak, yang telah dengan ikhlas membantu penyusun demi terselesainya makalah ini.
Selanjutnya, penyusun menyadari bahwa makalah  ini masih banyak kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu saran dan kritik yang konstruktif senantiasa penyusun harapkan. Akhirnya penyusun berharap, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi siapa saja yang membaca terutama bagi Civitas Universitas Maritim Raja Ali Haji

Tanjungpinang, 16  Juni 2014
            Penyusun



                                                                                                      Winda Sari .H. H



DAFTAR ISI
Kata Pengantar…………………………………………………………………     i
Daftar Isi…………………………………………………………………….......     ii
BAB      I        : PENDAHULUAN……………………………………………....    1
A.      Latar Belakang…………………………………………..    1
B.       Rumusan Masalah……………………………………....    2
C.      Tujuan Penulisan………………………………………..    2
BAB      II       : PEMBAHASAN……………………………………………….    3
A.     Bubu…….…………….………….………………………    3
B.      Kelong Tancap…………..........………………………..4
C.     Jala……………………………....………………………...6
D.     Jaring…………………………....………………………...8
BAB    III        : PENUTUP
A.      Kesimpulan………………………………………………. 10
B.       Saran………………………………………………………10
Daftar Pustaka………………………………………………………………….     iii
 




BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Riau, baik Riau daratan maupun Riau kepulauan, mempunyai latar belakang sejarah yang cukup panjang. Berbagai tinggalan budaya masa lampau banyak ditemukan di wilayah provinsi itu. Riau Kepulauan pernah berjaya dengan Kerajaan Riau-Lingga dengan pusatnya di Pulau Penyengat. Tinggalan-tinggalan budaya itu ada yang berupa benda bergerak maupun benda tak bergerak seperti bangunan masjid, istana, benteng, dan makam raja-raja Riau-Lingga.  Suku Melayu merupakan etnis yang termasuk ke dalam rumpun ras Austronesia. Suku Melayu dalam pengertian ini, berbeda dengan konsep Bangsa Melayu yang terdiri dari Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura.  Suku Melayu bermukim di sebagian besar Malaysia, pesisir timur Sumatera, sekeliling pesisir Kalimantan, Thailand Selatan, Mindanao, Myanmar Selatan, serta pulau-pulau kecil yang terbentang sepanjang Selat Malaka dan Selat Karimata. Di Indonesia, jumlah Suku Melayu sekitar 3,4% dari seluruh populasi, yang sebagian besar mendiami propinsi Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, dan Kalimantan Barat.
Dalam buku Sejarah Melayu disebut bahwa Melayu adalah nama sungai di Sumatera Selatan yang mengalir disekitar bukit Si Guntang dekat Palembang. Si Guntang merupakan tempat pemunculan pertama tiga orang raja yang datang ke alam Melayu. Mereka adalah asal dari keturunan raja-raja Melayu di Palembang (Singapura, Malaka dan Johor), Minangkabau dan Tanjung Pura. Pada waktu itu sebutan Melayu merujuk pada keturunan sekelompok kecil orang Sumatera pilihan. Seiring dengan berjalannya waktu definisi Melayu berdasarkan ras ini mulai ditinggalkan. Berdasarkan dari uraian diatas maka kami ingin lebih memperluas kembali suku Melayu khususnya yang berada di Provinsi Riau dan Kepulauan Riau.


B.    Rumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah pada makalah ini adalah 
  1. Apa saja peralatan mata pencaharian dibidang nelayan pada orang melayu?
  2. Bagaimana cara membuat alat-alat tersebut?

C.    Tujuan Penulisan
1. Umum   
Mahasiswa diharapkan mampu memahami manfaat peralatan nelayan tradisi melayu untuk meningkatkan wawasan nusantara dan kegunaan terhadap masing-masing peralatan.
2.     2. Khusus
            a.  Mengetahui bentuk dan kegunaan alat pencaharian nelayan masyarakat melayub. 
      b.  Mengatahui tradisi mata pencaharian melayu 
      c.  Mengetahui teknik pembuatan alat-alat nelayan




BAB II
PEMBAHASAN

A.    BUBU
Bubu adalah alat yang terbuat dari bambu yang dijalin sedemikian rupa, digunakan untuk menangkap ikan bagi masyarakat Melayu yang tinggal di pinggiran sungai atau di pesisir pantai,. Cara membuatnya, bambu dibelah kecil-kecil dan diraut sehingga menjadi bilah yang dapat dianyam.  Awalnya, bubu ini dibuat dari kerangka (tapak) bulat yang berdiameter 30 cm, dengan tinggi 150 cm. Di bagian tengahnya, dibuat lekukan yang berdiameter 50 cm. Struktur bubu ini semakin ke atas semakin membesar hingga berdiameter 70 cm. 


Gambar 2. a. Alat Tangkap Ikan (Bubu). (Sumber: Museum TPI Kota, 2014)

Bubu memiliki dua pintu: pintu perangkap dan pintu untuk mengeluarkan hasil tangkapan. Pintu perangkap dibuat cukup unik, karena mengikuti model struktur bubu tersebut. Letaknya di bagian atas. Pintu ini dinamakan injap, dibuat dari bambu yang dibelah dan bagian dalamnya diruncingkan, disusun berbentuk lingkaran sehingga membentuk bulatan. Sedangkan pintu yang kedua terletak di bagian tapaknya, dibuat dari bambu yang dibelah pula, kemudian diikat dengan tali agar tidak terbuka saat diletakkan di dasar sungai.
Biasanya bubu diletakkan di dasar sungai atau di ujung muara. Di dalamnya ditaruh umpan agar ikan-ikan yang melihat umpan tersebut tertarik untuk masuk ke dalam bubu. Bila ikan sudah masuk ke dalam bubu, maka ikan tersebut tidak dapat keluar lagi karena sudah terperangkap. Bubu dapat diambil kapan saja, baik ketika air pasang atau surut.

B.     KELONG TANCAP (PERMANEN)
Untuk mendirikan kelong tancap paling tidak membutuhkan 5-10 orang. Pekerjaan ini diawali dengan pencarian atau pengumpulan bambu yang tua dan panjang. Bambu-bambu itu sebagian dibuat rakit yang pada saatnya akan ditarik dengan perahu untuk membawa bambu yang diperlukan ke tengah laut (lokasi yang diinginkan).  Sementara itu, bambu-bambu yang lain dipilih sebagai fondasi. Bambu-bambu ini pada salah satu ujungnya (bagian pangkal) diruncingi dan setiap ruasnya dilubangi agar air dapat masuk, sehingga tidak mengambang. 
 
Gambar 2. b. Kelong Permanen atau Tancap (Sumber: Museum TPI Kota, 2014).

Ketika bambu-bambu itu sudah ada di lokasi yang telah ditentukan, maka beberapa orang akan menyelam ke dasar laut untuk mengetahui kedalaman dan sekaligus untuk mengetahui lunak dan kerasnya tanah dasar laut.  Ini penting karena ada kaitannya dengan sisa bambu yang muncul di permukaan air (setelah ditanam). Biasanya kedalaman yang diperlukan adalah sekitar 9--10 depa3). Sedangkan, sisa bambu yang muncul di permukaan air kurang lebih 1 depa.
Setelah bambu yang berfungsi sebagai tiang tertanam (membentuk segi empat dan setiap sisinya bertiang 6--7 buah), maka bagian atasnya yang kurang lebih 1,5 meter dari permukaan air laut disambung dengan bambu lainnya hingga mencapai ketingginan 2--3 depa. Kemudian, tiang-tiang yang membentuk sisi-sisi kelong dihubungkan dengan bambu yang arahnya berlawanan (horizontal) atau sejajar dengan permukaan air laut). Bambu-bambu tersebut diikat dengan ijuk, pasak, dan kaso. Dengan demikian, kedudukan tiang-tiangnya menjadi semakin kuat dan kokoh. Selanjutnya, kurang lebih 2 depa dari salah satu sisi bagang diberi deretan bambu yang dibuat rapat. Bambu-bambu yang berfungsi sebagai lantai ini juga setiap ujungnya diikat dengan tali ijuk. Di atas deretan bambu inilah didirikan bilik (kamar) yang diberi dinding dan atap yang berupa daun rumbia. Dengan demikian, si pemilik atau siapa saja yang ada di kelong dapat terhindar dari dinginnya udara malam, terpaan angin laut, dan derasnya air hujan. Sedangkan, di tengah-tengah sisi-sisi kelong lainnya, masing-masing dipasangi bambu yang mencuat ke atas dan membentuk segi tiga. Pada puncak bambu yang membentuk segi tiga itu masih ditambah dengan satu bambu lagi yang dihubungkan dengan bagian depan lantai bilik.
Selanjutnya adalah pemasangan jaring. Luas jaring sesuai dengan luas kelong. Jaring ini diberi bingkai dan dipasang di bawah lantai. Untuk menurunkan dan menaikkannya dibuat alat pemutar yang diletakkan di sudut kelong. Agar ketika diangkat atau diturunkan tetap seimbang kedudukannya (tidak berat sebelah), setiap sudut jaring diikat pada tiang bambu yang ditancapkan di dasar laut. Untuk penerangan yang sekaligus menarik perhatian ikan-ikan digunakan lampu stromking yang digantungkan di bawah bilik. Waktu yang dibutuhkan untuk membuat sebuah bagang tancap ini kurang lebih 6--10 hari.



C.    JALA
Jala adalah alat untuk menangkap ikan yang digunakan oleh masyarakat tradisional Melayu yang tinggal di daerah pesisir pantai atau di pinggiran sungai. Alat tangkap ini ditemukan hampir di semua negara yang berkebudayaan Melayu, seperti Malaysia, Indonesia, Singapura dan Brunei. 

 
Gambar 2. c. Jala (Sumber: Museum TPI Kota, 2014).

Lazimnya, jala dibuat dari benang-benang kapas atau nilon yang berukuran besar agar tidak mudah robek jika ikan-ikan besar terperangkap di dalamnya. Jala dibuat dengan teknik anyaman, yaitu benang dianyam sedemikian rupa dengan menggunakan coban (alat penganyam jala). Kalau dibentangkan, jala berbentuk bulat dengan diameter antara 8 10 meter, dan jika diangkat, tinggi jala kira-kira 2,5-3 meter. Di pangkal jala diberi cincin besi atau rantai jala sebagai pemberat, sementara di ujungnya diberi tali sebagai tempat memegangnya. Selain itu, ada juga jala kecil yang biasanya memiliki mata jala yang lebih kecil pula, dengan menggunakan benang kapas yang telah dipintal. Jika dibentangkan, jenis jala ini berdiameter 7-8 meter, dan jika diangkat, tingginya kira-kira 130 cm.
Jala pada umumnya digunakan oleh para nelayan yang menggunakan perahu sampan. Para nelayan ini menyusuri tepian pantai ketika air surut, jumlah mereka biasanya dua orang untuk sebuah sampan. Satu orang sebagai pendayung sampan, dan satu lagi yang menebar jala. Si pendayung biasanya duduk di buritan sampan sekaligus sebagai penjaga kemudi, sementara penebar jala di bagian haluan sampan. Namun, ada pula nelayan yang melakukan tebar jala sendiri, dia sebagai pendayung sekaligus sebagai penebar jala. Keadaan ini dapat dilakukan hanya dengan cara mengkondisikan bagian buritan sampan agar bisa mengontrol keseimbangan perahu sampan. Salah satu cara yang digunakan adalah dayung diikatkan ke perahu sampan, lalu dijatuhkan ke air, sementara nelayan ini menggunakan pengayuh untuk menggerakkan perahu sampannya dari bagian depan sampan.
Dulu, di daerah Malaysia, kegiatan untuk menebar jala dilakukan dengan upacara adat yang dihadiri oleh raja atau sultan serta masyarakat setempat. Upacara ini dilaksanakan di atas perahu sampan para nelayan secara beramai-ramai. Raja atau sultan ikut bersama mereka menaiki perahu sampan tersebut. Ketika sampai di daerah tertentu, raja atau sultan memerintahkan pada para nelayan untuk menebarkan jala. Sebelumnya, perahu mulai digerakkan secara perlahan dan membentuk seperti bulatan. Setelah itu, jalapun ditebar. Berselang beberapa menit, perahu sampan dikayuh ke arah belakang secara perlahan, jala diangkat secara perlahan pula, kemudian diletakkan di atas sampan, dan ikan-ikan yang didapat dikeluarkan dari jala ini. Selanjutnya, penebaran jala dilakukan pada areal yang lain.
Nelayan jala memiliki banyak teknik untuk menebar dan menarik jala. Salah satu cara yang biasa dilakukan untuk menebarnya adalah, mula-mula penebar jala dalam posisi berdiri. Lalu, ia menyandang bagian tengah hingga ke pucuk jala dengan bahu dan bagian lengan atas tangan kanannya, sementara tangan kiri menyandang jala bagian bawahnya. Setelah itu, ia membuat ancang-ancang dengan mengayunkan badannya ke belakang, lalu ke depan dengan dorongan tangan, lengan dan bahu agar jala tersebut terbuka dengan sempurna, membentuk suatu bulatan yang utuh. Bagian tepi jala akan tenggelam hingga ke dasar sungai disebabkan beratnya rantai jala. Sedangkan cara menarik jala adalah, penebar jala akan melilit tali yang ada di pucuk jala secara perlahan, kemudian menariknya hingga rantai jala terangkat dari perahu sebatas lutut si penebar jala. Lalu jala diletakkan di perahu sampan dan hasil tangkapan dikeluarkan darinya.
Aktivitas menjala ini tidak hanya dilakukan oleh para nelayan yang tinggal di pinggiran sungai atau pesisir pantai, tetapi juga oleh para petani. Mereka pergi menjala ketika ada waktu luang, atau setelah panen, sebagai pekerjaan tambahan.

D.    JARING
Jaring adalah alat untuk menangkap ikan, terbuat dari benang nilon dengan cara dianyam. Biasanya jaring memiliki dua ukuran, kecil dan besar. Jaring kecil berukuran panjang antara 5 -10 meter dan labuh (lebar) 1,5-2 meter, sementara jaring besar berukuran panjang antara 10-30 meter dengan labuh (lebar) antara 2-4 meter. Baik jaring kecil atau besar memiliki mata jaring, serampat (selvadge), pelampung, tali pelampung (float line), tali ris atas (head line), tali ris bawah (ground rope), pemberat dan tali pemberat (sinker line)
 
Gambar. 2. d. Alat Penjaring Ikan (Sumber: Museum TPI Kota, 2014)

Mata jaring adalah lubang yang terdapat pada anyaman jaring tersebut, berfungsi sebagai perangkap ikan dan hewan air lain yang melewatinya; serampat adalah lembaran jaring yang terpasang di atas dan di bawah tubuh jaring, berfungsi sebagai penguat tubuh jaring bagian atas dan bagian bawah tersebut; pelampung adalah benda yang mempunyai daya apung yang dipasang pada jaring bagian atas, berfungsi sebagai pengapung jaring; tali pelampung adalah tali yang dipergunakan untuk menempatkan dan mengikat pelampung; tali ris atas adalah tali yang dipergunakan untuk menggantung tubuh jaring; tali ris bawah adalah tali yang dipergunakan untuk melekatkan tubuh jaring; sementara pemberat adalah benda yang mempunyai daya tenggelam yang dipasang di bagian bawah, berfungsi sebagai penenggelam jaring. Selain itu, berkenaan dengan mata jaring, terdapat dua jenis ukurannya, kecil dan besar. Mata jaring kecil biasanya berukuran 2-4 cm persegi empat, sementara mata jaring besar berukuran 8-15 cm. ukuran kecil dan besar ini bersesuaian dengan kecil atau besar jaring yang diperlukan.  
Pada umumnya, ada dua cara yang digunakan untuk merentangkan jaring: (1) jaring diikatkan ke pohon kayu yang berada di tepian sungai, (2) jaring diberi beberapa buah pelampung, terutama di dua penjuru jaring agar keadaannya tetap terapung, selanjutnya ditancapkan kayu di areal yang dangkal, lalu jaring diikat agar ia tidak hanyut dibawa arus. Perentangan jaring ini dilakukan biasanya ketika air mulai pasang, dan diangkat (dibangkit) ketika air surut. Para nelayan pada umumnya menggunakan perahu sampan atau perahu bermotor ketika mereka merentangkan atau mengangkat jaring tersebut.




BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Alat penangkap ikan suku melayu hingga saat ini masih digunakan oleh masyarakat melayu dan bahkan alat tersebut dimanfaatkan oleh orang-orang yang memiliki sumber mata pencaharian dengan nelayan. Oleh karena itu, sepanjang peralatan tersebut masih digunakan dan dimanfaatkan serta memberikan banyak keuntungan bagi sang pengguna sehingga sepanjang itulah nama suku melayu masih terdengar oleh kita, sehingga tidak ada salahnya untuk menjaga tradisi yang ditinggalkan apapun itu daerahnya dengan catatan hal itu berfaedah bagi pengguna.

B.     Saran
Demikian pembahasan mengenai ”Mata Pencaharian Nelayan Suku Melayu”. Semoga pembahasan ini dapat dijadikan salah satu sumber untuk memperkaya pemahaman. Semoga apa yang disampaikan dalam makalah ini akan dapat menjadikan bahan renungan dan merupakan acuan kita untuk menerima perubahan yang disampaikan baik secara langsung maupun tidak langsung. Dengan pemahaman ini di harapkan mahasiswa semakin bertambah pengetahuanya  dan semakin kreatif sehingga mampu memecahkan masalah khususnya dalam bahasa indonesia. Selanjutnya kami juga berharap agar mahasiswa semakin tertarik mengikuti perkembangan Ilmu-ilmu yang lainnya tidak terkecuali Ilmu apapun itu. 
Demikian Kritik dan Saran dari kami, jika ada kata-kata yang mungkin tidak berkenan di hati saudara-saudari sekalian, agar dapat memaklumi dan kami memohon maaf yang sebesar-besarnya. 




DAFTAR PUSTAKA

Tim Koordinasi Siaran. 1992. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara IV. Jakarta: Departemen          Pendidikan dan Kebudayaan.

www.melayuonline.com diakses pada : 12 Juni 2014

Wawancara : Anton Rambe (Narasumber Museum)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar